Minggu, 29 Juli 2007

CIA Terlibat dan Soeharto Tangan yang Dipakai

Omar Dani:
“CIA Terlibat dan Soeharto Tangan yang Dipakai ... ”

Buku "Pergunakanlah Hati, Tangan dan Pikiranku: Pledoi Omar Dani" adalah satu dari sekitar seratus buku tentang G30S. Jelas buku ini penting karena ditulis oleh salah satu pelaku utama. Setelah dibungkam selama 29 tahun, baru kali ini bekas pucuk pimpinan Angkatan Udara itu bicara. Ia baru dibebaskan dari penjara Cipinang pada tahun 1995 -- fotonya baru belakangan ini dipajang di Markas besar AU sebagai KSAU kedua.

Daned, begitu ia disapa, lahir di Solo pada 1924. Putra KRT Reksonegoro, Asisten Wedana Gondangwinangun, Klaten, menapaki karir penerbang pada akhir 1950 di Taloa, Amerika Serikat. Tahun 1956 ia bertugas belajar di Royal Air Force Staff College di Andover, Inggris. Pulang dari Inggris, ia terlibat dalam berbagai tugas, misalnya menumpas pemberontakan PRRI di Sumatera. Dan belum genap 38 tahun, pada 19 Januari 1962, Omar Dani menjadi Menteri/Kepala Staf Angkatan Udara menggantikan Laksamana Udara Surjadi Suryadarma. Peristiwa G-30-S seperti menjungkirbalikkan karirnya yang cemerlang, ia dituduh terlibat.

Dua hari setelah merayakan ulang tahun yang ke-77, bapak lima anak ini menerima tim redaksi TEMPO. Wawancara berlangsung di rumahnya, di kawasan Kebayoran Baru yang asri, ia didampingi oleh A. Andoko, bekas deputi Men/Pangau bidang logistik. Berikut petikannya:


Bisa Anda ceritakan situasi pada tanggal 30 September 1965?
Tanggal 30 September 1965, sore jam 16.00, laporan pertama masuk dari Letkol Udara Heru Atmodjo, Asisten Direktur Intel AURI, bahwa ada gerakan di lingkungan AD yang akan menjemput jendral AD untuk dihadapkan kepada Bung Karno. Itu reaksi dari para perwira muda
AD yang tidak puas terhadap keadaan AD. Lalu saya minta dia untuk mengecek kebenarannya. Kemudian jam 20.00 malam dia datang lagi.

Apa yang disampaikan Heru Atmodjo?

Saya tanya jam berapa operasi akan dilakukan. Heru menjawab (operasi bisa terjadi) jam 23.00 (30 September), bisa 01.00 atau jam 04.00 (1 Oktober 1965). Kami heran, sudah kurang 24 jam kok (operasi) itu belum dipastikan jamnya. Kemudian ada yang menanyakan daftar yang akan diculik. Disebutkan, A. Yani, Nasution, DI Panjaitan dan seterusnya. Saya pribadi berpendapat, kalau orang hendak melakukan pemberontakan, pantasnya targetnya adalah jenderal yang memegang komando, misalnya, Yani (Menpangad), Soeharto (Pangkostrad), Sarwo Edie (Komandan RPKAD), Umar Wirahadikusumah (Pangdam Jaya). Lha Nasution kan nggak pegang komando. Saya pribadi tambah merasa aneh karena Nasution dan A. Yani dalam satu paket sasaran, padahal keduanya bertentangan terus.

Lalu keesokan paginya, Mayor Soejono datang melaporkan pembunuhan terhadap para jenderal, tapi Anda masih beristirahat. Bagaimana detilnya?

Soejono itu komandan resimen Pasukan Pertahanan Pangkalan. Bahwa dia itu punya hubungan dengan PKI dan Latief, saya tidak tahu sama sekali. Baru dalam sidang Mahmilub soal tersebut ditanyakan. Saya jawab, saya nggak kenal Latief. Sebagai Menpangau, yang saya kenal ya paling-paling Umar Wirahadikusumah. Wakilnya Umar saja saya tidak tahu.

Apa pertimbangan di balik keluarnya perintah harian Menpang/KSAU pada tanggal 1 Oktober 1965?

(Andoko menjawab pertanyaan ini: Ada tiga macam pengumuman waktu itu. Pertama surat perintah harian tadi, lalu kedua pada tanggal 2 Oktober 1965 jam 14.00, saya yang buat. Pada saat itu Menpangau berada di Lanud Iswahyudi, Madiun. Beliau juga membuat konsep kelanjutan dari pengumuman pertama. Kalau dibaca keduanya sama isinya: menolak adanya Dewan Revolusi. Omar Dani dari Madiun langsung kembali ke Bogor, ketemu Bung Karno, dan menunjukkan pengumuman itu. Tanggal 3 pagi dinihari baru diumumkan).
Saya membuat statement, isinya mendukung gerakan yang antirevolusioner, atas saran Heru Atmodjo. Katanya agar rakyat tahu. Kebodohan saya mungkin, karena saya kurang ngerti politik. Tahu-tahu paginya, sekitar jam 07.00 pada 1 Oktober 1965, ada siaran dari RRI tentang gerakan yang menamakan diri G-30 S. Dan tiba-tiba Presiden Soekarno mau pulang ke istana pun tak bisa. Yang menjaganya pasukan yang ditakuti, pasukan yang tak diketahui.

Kenapa Bapak membuat pernyataan seperti itu?

Karena semalam sebelumnya, intel AURI melaporkan bahwa malam itu ada gerakan dari perwira-perwira muda AD terhadap atasannya yang didukung seluruh bawahan dan sipil dari empat angkatan. Lho untuk apa? Ternyata akan menculik jenderal-jenderal.

Bagaimana awalnya Bung Karno berada di Halim hari itu?

Pagi itu saya sedang ada di Halim Perdanakusuma, tahu-tahu Letkol Soeparto, sopir dan ajudan BK menelpon saya. Dia menelepon dari rumah saya, Wisma Angkasa. Saya bertanya, Mas lha ini ada apa. Sudahlah nanti saya ceritakan, Bapak (Bung Karno) saya bawa ke Halim, jawabnya. Saya menawarkan diri untuk menjemput, dia bilang nggak usah. Saya nggak tahu kalau dia berada di Wisma Angkasa. Terus dia kembali ke BK, lalu BK pergi ke Halim. Jadi saya nggak minta BK datang ke Halim tetapi itu merupakan keputusan BK sendiri. Kemudian, karena BK hendak datang ke Halim, saya lantas mencoba menyetop pernyataan saya yang sudah terkirim ke Markas Besar AU. Begitu BK datang, di Halim kami mengobrol. Tak lama, datang Brigjen Soepardjo, datang sendiri menghadap BK. Lha, saya tahu Brigjen Soepardjo itu salah satu orang yang mengetahui dari gerakan dalam AD tersebut. Walaupun dia lain angkatan, dia itu anak buah saya di Komando Mandala Siaga.

Soeharto dikabarkan menolak menghadap BK pada 1-4 Oktober 1965, itu merupakan suatu keanehan ataukah tidak?

(Terdiam sesaat) Kalau Harto dipanggil nggak datang itu bukan keanehan lagi. Itu artinya menentang atasan, apalagi atas perintah Panglima Tertinggi. Ini artinya subordinasi. Kalau dipanggil Pangti harus datang, apapun situasinya. Jawaban Harto waktu itu karena AD sudah kehilangan banyak jenderal, jadi dia nggak mau mengambil risiko lagi. Tetapi saya pikir tetap nggak boleh. Kalau A. Yani meninggal, katanya dia terus hendak mengambil alih Panglima AD juga, padahal tidak bisa dilakukan begitu saja.

Banyak analisa yang menyebutkan bahwa Soeharto terlibat dalam G-30 September? Bagaimana menurut Anda?

Kilas baliknya lebih kentara lagi. Misalnya Komando Siaga Mandala, wadahnya Koti (Komando Tertinggi). Dalam hirarki kemiliteran, waktu A Yani dijadikan Menpangad, Nasution itu sebenarnya pingin menjadi Menhankam/Pangad. Tetapi saya tahu maksudnya dia ingin berkuasa di
AD. Itu sudah saya lihat gelagatnya sedari 1945. Jadi kita tahu misalnya di AURI ada peristiwa-peristiwa pengganjalan. Peristiwa Soejono 1955 di Halim Perdanakusuma, Pak Suryadarma (Panglima AU pertama) diganjal terus ketika hendak dibentuk Wakil KSAU.

Para jenderal dikorbankan oleh siapa?

Dua orang. Soeharto dan Nasution. Itu sudah ada rekayasa. Kok tahu-tahu muncul istilah G-30S/PKI. Sejak kapan kok terus PKI disangkutkan? Buktinya apa? Heru Atmodjo, Soejono, nggak pernah menandatangani pernyataan Dewan Revolusi. Ketika Letkol Untung jadi saksi dalam persidangan Soepardjo, hakim menanyakan siapa yang memimpin aksi G-30S, Untung langsung menyahut: saya. Keanehan yang lain soal pengumuman Dewan Revolusi 1 Oktober, bahwa pangkat di atas Letnan Kolonel harus dicopot menjadi Letkol. Brigjen Soepardjo, waktu 1 Oktober 1965 pergi ke Halim menghadap BK, memakai pangkat Brigjen.

PKI dikorbankan juga?

Oh, iya. Gambaran seperti pesta-pesta di Lubang Buaya itu isapan jempol. Kalau memang ada rekamannya, mengapa nggak dibuat film khusus dokumenter dan diputar. Itu semua rekayasa. Saya mempertanyakan, mulai kapan kok ada istilah G-30-S diembeli dengan PKI ? Tanggal 1 Oktober 1965 petang, saya sudah mendapat informasi bahwa AD menguber PKI. Itu pun yang diuber bukannya massa, tapi pasukan 454 dari Jawa Tengah. Mereka pada jam 16.00 hendak masuk ke Halim tetapi ditutup oleh Pasukan Gerak Tjepat (PGT) AURI yang dipimpim Pak Wisnu Djajengminardo. Bung Karno ada di Halim waktu itu.

Menurut Anda, apakah PKI sama sekali tidak terlibat dalam G30S?

PKI itu tidak punya kekuatan bersenjata. Kira-kira, sebagai analisa dari Syam Kamaruzaman, tentunya Syam bilang kepada Aidit, "Daripada kita (PKI) melatih orang mahal, kan sudah ada ABRI. Kita pengaruhi saja mereka. Kan gampang." Sementara, saya duga, Aidit-nya yang tidak punya pengalaman segera menyambar, "Benar juga, ya." Kalau menurut saya, itu bisa terjadi, cara berpikir gampangan begitu. Lalu TNI dipengaruhi, kenyataannya memang begitu.
Di mana letak keterlibatan CIA dalam pembunuhan para jenderal tersebut ? Apakah terdapat dalam peran Syam Kamaruzaman, yang membelokkan perintah penangkapan menjadi pembunuhan? Latief mengaku demikian ketika diwawancarai TEMPO beberapa waktu lalu. Akibatnya Kol. Latief dan Brigjen Soepardjo kaget.
Saya menjadi saksinya Soejono dan Soepardjo dalam Mahmilti, saya nggak tahu ada Heru atau tidak di situ. Soejono sendiri waktu di persidangan Mahmilub menuturkan ketika para penculik membawa mereka ke desa Lobang Buaya, mereka mengaku kaget kok pasukan dibawa ke tempat latihan seperti itu. Ada apa ini? Ngapain ini? Kok ribut-ribut di desa Lubang Buaya.

Kata Kol. Latief, sebelumnya sudah beberapa kali ia melakukan pertemuan dengan Heru Atmodjo, lalu kemudian Mayor Soejono?

Terus terang saya nggak pernah tahu kalau Heru Atmodjo itu punya hubungan dengan Latief atau berkumpul dengan orang PKI di rumah Latief. Saya nggak pernah tahu, apalagi Syam Kamaruzaman. Heru tidak pernah melaporkannya. Dan kalau dia misalnya bergaul dengan orang PKI, yang namanya orang intel ya begitu. Bukankah dia sebagai intel harus masuk ke mana-mana.

Soal dokumen Gilchrist, sejauhmana otentitasnya?

Desas-desus Dewan Jenderal sudah lama kami mendengarnya. Tidak hanya itu, (juga soal) penilaian pers luar negeri (mengenai siapa) yang akan menjadi pengganti Bung Karno. Yang steady itu empat orang. Soebandrio, Chaerul Saleh, Nasution dan DN Aidit. Dewan Jenderal (terdengar) pertama kali ketika Yani menghadap Bung Karno dan ditanyai soal itu. Yani menjelaskan (Dewan Jendral itu) untuk kepangkatan. Waktu itu saya tidak mendengar langsung melainkan dari Pak Mulyono Herlambang yang mewakili saya. Jadi, saat pembahasan Gilchrist tersebut saya tidak ada di tempat.
Dalam buku Soebandrio yang tidak jadi beredar, ada soal trio Soeharto-Ali Moertopo-Yoga Soegama yang disebut Dokumen Gilchrist sebagai our local army friends. Bagaimana pendapat Anda?
Bahwa G-30-S itu suatu rekayasa, memang begitulah. Menurut saya CIA itu sangat terlibat, dan Harto adalah tangan yang dipakai. G-30 S itu bikinan Harto.

Indikasinya apa saja?

Pada waktu itu, nggak ada jenderal di Indonesia yang bisa membuat suatu operasi intelejen yang begitu canggih seperti G-30-S yang sampai sekarang belum ada titik terangnya. Yani itu termasuk yang dikorbankan, seperti para jenderal itu.
Kalau melihat ambisi Soeharto, apakah (saat itu) tidak ada upaya-upaya untuk menghentikannya? Dari mana pun.
Dari AU tidak bisa, karena berlainan angkatan.

Kalau dari AD sendiri?

Kelihatannya pengaruh Harto itu besar sekali. Entah karena uang atau kekuasaan.

Anda loyalis Sukarno ya?

Oh, ya. Saya Soekarnois. Saya bukan komunis. Tetapi saya juga tidak antikomunis. Kenapa? Karena kalau saya anti komunis itu berarti saya bukan demokrat. Kalau ada PKI memberontak terhadap pemerintah, lha saya akan menghantamnya.

Tapi apa betul di AURI banyak yang masuk PK?

Amerika menganggap juga begitu. The Indonesian Air Force communist invested up to senior commander. Berarti dari bawah sampai ke atas. Bagi saya sikap tersebut biasa saja karena orang yang tidak mengekor kepada Amerika sejak 1950-an mulai dicap komunis. Jadi BK ingin netral, non aligned, itu dicap amoral. Soal keikutsertaan prajurit AURI ke PKI, mungkin secara rahasia. Kami (para petinggi) tidak tahu.

Apakah itu karena Anda sangat toleran kepada PKI, karena tidak anti komunis?

Berkali-kali saya mengatakan tentang Nasakom. Di pers tidak diambil intinya persatuan kesatuan, tetapi komunisnya. Di RRC ada politik Komisar dari partai yang kuasa sekali dan tentara. Kalau antri beli karcis di bioskop ada yang menyelonong, ya ditempeleng di depan orang banyak. Para anggota militer nggak berani terhadap anggota politik Komisar. Nah, andaikan Nasakomisasi yang dimaksud oleh Bung Karno itu berarti memerintahkan agar anggota ABRI ikut partai politik. Di mata angkatan berarti perintah. Saya nggak takut anak buah menjadi komunis atau sebaliknya menjadi ultra Islam, atau ultra nasionalis.

Sekarang ini bisakah Anda gambarkan dengan kalimat singkat tentang Soeharto?

Dia tidak mau ada orang di atasnya. Dan dia orang yang punya sifat kejam dan pendendam. Ambisius. Saya perhatikan, karena saya juga orang Jawa Solo, Harto itu
kalau bersalaman posisi tangannya seperti membuat orang menunduk. Arah jari-jarinya ke bawah. Lain dengan cara bersalaman kebanyakan yang berposisi sejajar. Mau tak mau orang yang bersalaman dengannya pasti berada dalam posisi bawah.

Apa saja yang dilakukan di penjara, mungkin hobi berkebun, beternak?

Oh nggak. Karena kalau di penjara Nirbaya dulu ada yang beternak, (maka) harus setor ke POM atau CPM ketika lebaran tiba. Memang tidak berupa upeti, melainkan mereka meminta 10-20 ekor ayam dibeli dengan harga di bawah harga pasaran. Melihat itu saya jadi malas. Apalagi Bandrio yang nggak suka beternak. Waktu di sana, dia lebih suka baca-baca Qur'an. Saya sendiri nggak belajar ngaji. Apalagi saya sama sekali nggak bisa baca huruf arab.
Waktu (Baharuddin) Lopa suatu hari di tahun 1992, mengunjungi kami, dia menawarkan agar para napi bisa sholat Jumat bersama. Spontan Bandrio bersuka, "Mau-mau Pak." Ketika ditanyakan kepada saya, saya jawab, "Lho, bukannya suka atau tidak. Melainkan soalnya boleh atau tidak boleh." Karena faktanya dari dulu kami nggak boleh (mengikuti sholat Jumat bersama).

Apa kegiatan yang rutin tiap hari saat ini?

Ngobrol-obrol, baca-baca buku. Yang dulu-dulu saya baca tetapi belum sempat dibaca karena ditahan, sekarang saatnya. Misalnya Di Bawah Bendera Revolusi saya sudah punya satu set. Juga Indonesia Menggugat. Yang saya cari sekarang pidato Bung Karno di forum PBB. Saya tidak pernah membaca buku-bukunya Harto, pun buku Nasution. Karena saya sudah tahu dan bergaul dengan mereka. Saya tidak menilai orang dari apa yang dikatakan tetapi dari tindakan. Dari karakternya. ****


Pencabutan TAP MPR XXV/1966 Urusan MPR

Ketua DPR Akbar Tanjung menyatakan bahwa pencabutan Tap MPRS XXV/1966 merupakan urusan fraksi-fraksi di Majelis Permusyarawatan Rakyat (MPR). Akbar sendiri sangat yakin sebagian besar fraksi di MPR tidak akan menyetujui pencabutan Tap MPRS tersebut.

Akbar menyatakan hal ini nenanggapi kontroversi akibat usulan Presiden Abdurrahman Wahid tentang pencabutan Tap MPRS XXV/1966 yang sejak minggu lalu terus menggelinding ke permukaan. Dia menyerukan, "Saat ini kita harus berpikir kepada sense of reality dan sense of urgency. Marilah Gus Dur kita ajak berpikir ke situ (sense of reality dan sense of urgency, red)."

Secara konstitusional, Akbar menegaskan bahwa pemerintah tidak berada pada posisi memutuskan atau melarang pencabutan Tap MPRS XXV/1996 yang melarang penyebaran ajaran Marxismen/Leninisme ini. Dia meminta agar hal ini diserahkan sepenuhnya kepada MPR. Akbar juga menambahkan bahwa pemerintah berada dalam posisi menjalankan keputusan-keputusan MPR. Sebaiknya pemerintah berkonsentrasi untuk melakukan apa yang telah diamanatkan pada GBHN. "Terutama di bidang ekonomi," tegas Akbar.

Secara umum, negara tidak harus berjalan atas apa yang disampaikan oleh Presiden Abdurrahman Wahid. MPR adalah lembaga tertinggi negara, dengan demikian jelas Akbar, presiden harus tunduk kepada MPR. Dirinya menyatakan bahwa apabila Gus Dur mendudukkan dirinya sebagai pribadi atau anggota parpol yang mengusulkan pencabutan TAP MPRS yang dinilai diskriminatif tersebut, seharusnya dirinya menyalurkan gagasan tersebut langsung ke fraksi PKB. "Nanti biar fraksi PKB yang memperjuangkannya di DPR," demikian tutur Akbar.

Komunisme tak Bisa Dilawan dengan Tap

Pencabutan Tap MPRS XXV/1966 tentang larangan penyebaran ajaran Marxisme/Leninisme seperti diusulkan Presiden Abdurrahman Wahid haruslah disertai dengan peningkatan ekonomi. "Jika itu tak bisa dicukupi, maka sebaiknya ditunda saja pencabutan itu," demikian tutur Kristiadi kepada pers dalam seminar bertajuk 'Evaluasi Perkembangan Terakhir di Indonesia' yang diselenggarakan CSIS (Center of Strategic and International Studies) di Jakarta Senin siang (03/04).

Kristiadi berpendapat, memang agak sulit untuk memutuskan apakah Tap MPRS XXV/1966 tersebut harus dicabut atau tidak. Baginya, komunisme berpotensi menawarkan impian, terutama soal janji keadilan sosial. "Kondisi kita saat ini sedang kritis dan masyarakat yang sedang terhimpit sangat gampang terbujuk dengan impian," jelas Kristiadi.

Pengamat Politik CSIS ini menyarankan, kebebasan sebaiknya dibuka lebih lebar apabila tingkat pendidikan rakyat dan kondisi ekonomi sudah memadai. Namun ia sendiri mengingatkan, komunisme tak bisa dilawan dengan aturan semacam Tap MPRS. Menurutnya, "Ideologi itu harus dilawan dengan kemakmuran, keadilan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat."

Mengenai kontroversi seputar pro-kontra pencabutan Tap MPRS XXV/1966 ini, Kristiadi menyesalkan pernyataan yang dilontarkan Menteri Hukum dan Perundang-undangan (Menkumdang) Yusril Ihza Mahendra yang bertentangan dengan ucapan Presiden Abdurrahman Wahid. Kristiadi berpendapat, "Gagasan Gus Dur jika ditangkap secara jernih mengandung suatu nilai yang harus dipikirkan."

Yang Menolak adalah Pendukung Konservatifisme

Gagasan Persiden Gus Dur untuk mencabut Tap MPRS no.XXV/MPRS/1966 tak dapat dimaknai sebagai langkah awal ke arah rekonsiliasi nasional. Langkah itu harus diartikan sebagai konsistensi Gus Dur terhadap proses demokratisasi di Indonesia. "Kalau kita konsisten dengan demokrasi maka tak ada lagi kewenangan negara mengontrol ideologi," demikian Munir SH dalam percakapannya dengan TEMPO Interaktif di YLBHI, Jakarta, Rabu (5/4).

Menurut Direktur Operasional YLBHI itu, aksi penolakan terhadap ide Gus Dur, sesungguhnya bukan didorong oleh ketakutan atas bangkitnya kembali ideologi komunisme. Namun, gelombang protes penolakan itu mewakili sebuah aliran pemikiran yang masih meyakini otoriterisme menjadi sebuah model bagi solusi Indonesia di masa depan. "Ini cara-cara berpikir konservatif dalam proses perubahan politik di Indonesia," kata Munir.

'Histeria' anti komunis yang tampil belakangan ini lebih tampak sebagai sebuah isu ketimbang sebuah kesadaran. "Kesadaran sejati di pikiran mereka adalah negara harus berperan absolut," jelas Munir. Atau, menurut mantan Koordinator Kontras, isu itu muncul sebagai warisan kesadaran Orde Baru dan mereka yang masih terpengaruh oleh pemikiran rezim itu.

Menurut Munir, mestinya MPR responsif terhadap gagasan Gus Dur itu, serta konsisten dengan proses demokratisasi. "Jika MPR mendukung negara sebagai alat saringan ideologi, maka lembaga itu tak beda dengan MPR yang lalu," jelasnya. Munir menambahkan, saat ini alasan trauma terhadap PKI sudah tak rasional. Sebelum dilarang pun PKI pernah menjadi partai besar di Indonesia, tapi dalam pemilu partai itu mengalami kekalahan. Jadi, baginya, ketakutan itu tak berdasar sama sekali.

Kondisi saat ini adalah refleksi dari politik nasional yang salah arah. "Jadi seolah-olah demokrasi itu bisa lahir karena ada orang kuat, bukan rakyat yang kuat," tegas Munir. Kelompok konservatif itu selalu melihat bahwa penyelesaian masalah ada di pundak pemerintah, dan bukannya rakyat.

Perspektif rekonsiliasi sesungguhnya tak tersentuh perdebatan pencabutan Tap itu. Dalam konteks ini, Munir membenarkan pendapat Pramudya Ananta Toer --salah seorang tokoh Lekra yang dipenjara di Pulau Buru oleh Orde Baru. Menurut Munir, Pram benar, bahwa proses rekonsiliasi tak cukup hanya dengan mencabut Tap tersebut.

"Rekonsiliasi haruslah didasarkan dengan konsep melihat kembali kebenaran dari masa lalu," kata Munir. Bagaimana melihat kebenaran itu kembali, lalu meletakannya dalam perspektif masa depan, bagi Munir, adalah hal yang jauh lebih penting. "Pencabutan itu adalah satu titik diantara sekian banyak langkah yang harus dilakukan, serta kebenaran yang harus diakui dari peristiwa masa lalu," kata Munir lagi.

Permintaan maaf Gus Dur bagi para korban G30S, menurut Munir, adalah permintaan maaf biasa. Dalam konteks rekonsiliasi, permintaan maaf biasanya disampaikan secara resmi setelah kebenaran atas peristiwa itu diketahui. "Sekarang yang terjadi adalah menafsirkan kesalahan sendiri-sendiri," ujar Munir. Akibatnya, permintaan maaf Gus Dur, bagi Munir, adalah sebuah gugatan bagi cara berpikir masayarakat Indonesia.

Naik Turun Menuju Akhir

Organisasi organisasi pemuda banyak bermunculan pascaproklamasi 17 Agustus 1945. Yang pertama sekali dibentuk bernama Angkatan Pemuda Indonesia (API). Organisasi ini dipimpin oleh seorang pemuda bernama Wikana, seorang sosialis. Ia memiliki seorang assisten bernama DN Aidit.

Sebagai sebuah organisasi yang dipimpin seorang sosialis komunis, tak heran jika di tubuh API sering disuntikkan propaganda-propaganda komunisme. Pada 9-11 November 1945, API mengadakan kongres pertama mereka di Yogyakarta. Kongres ini dihadiri hampir seluruh organisasi kepemudaan dari seluruh Indonesia. Di sana, baik Wikana maupun Aidit mengajak seluruh organisasi pemuda untuk bergabung menjadi satu organisasi kepemudaan baru. Nantinya organisasi ini dikenal dengan nama Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo). Tercatat enam organisasi setuju melebur menjadi Pesindo. Mereka adalah API sendiri, Pemuda Republik Indonesia (PRI), Angkutan Muda Republik Indonesia (AMRI), Gerakan Pemuda Republik Indonesia (GERPRI), Angkatan Muda Kereta Api (AMKA) dan Angkatan Muda Pos, Tilpun dan Telegrap (AMPTT). Satu organisasi yang menolak bergabung adalah Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII).

Lima bulan setelah pembentukan PESINDO di kongres Yogyakarta, tiga organisasi pembentuknya menyatakan keluar. Mereka adalah AMPTT, AMKA dan GERPRI. Pada bulan-bulan pertama sesudah proklamasi belum ada partai politik. Kabinet pertama yang dibentuk waktu itu berbentuk presidentil dengan Sukarno sebagai presiden dan Hatta sebagai wakil presiden, sekaligus perdana menteri dan wakil perdana menteri. Sutan Sjahrir yang belakangan dikenal sebagai perdana menteri (pertama), sebenarnya mulai aktif di kabinet II. Di situ Sjahrir tak hanya menjabat perdana menteri, tetapi juga menteri luar negeri dan dalam negeri terhitung dari 14 November 1945 sampai 12 Maret 1946.

Pada hari hari menjelang proklamasi, muncul seorang tokoh bernama Ilyas Husein, yang mengaku gembong komunis bekas anak didik Sneevliet, dan baru datang dari luar negeri. Siapa sebenarnya Ilyas Husein? Dialah Tan Malaka yang memakai nama samaran. Setibanya di Indonesia, Tan mengadakan kontak dengan organsisasi-organisasi pemuda dan tak disangka pengaruh orang ini kembali membesar seperti tahun 20-an. Di bulan Oktober 1945, Sutan Sjahrir pernah mengajak Tan Malaka untuk bekerja sama dengan pihak pemerintah dengan menjadi pimpinan Partai Sosialis. Tan menolak. "Saya tak ingin seperti teman Partai Sosialis yang kebanyakan mau berkompromi dengan kapitalis-imperealis,"katanya. Tan sendiri menamakan kelompok Sjahrir, Sukarno, Hatta dan Amir Sjarifudin dengan nama kaum 'Borjuis kecil.' Karena mereka selalu mengunakan cara diplomasi dan kompromi. Berbeda dengan kelompoknya yang menjalankan perjuangan bersenjata melalui 'aksi massa' dan selalu berprinsip 'Konsekwen Terhadap Perjuangan'. Tan dan kawan-kawan menamakan kelompok mereka kaum 'Murba'.

Lain ceritanya dengan Muso. Setelah meninggalkan Indonesia tahun 1926, ia kembali ke tanah air tahun 1935. Pada tahun itu ia mendirikan PKI ilegal di Surabaya. Namun, ketika tahun 1943 tentara Jepang menguber-uber pentolan PKI, Muso pun kembali melarikan diri ke Rusia.

Perkembangan partai komunis setelah 1945 erat kaitannya dengan perjanjian Linggarjati dan Renville. Banyak kalangan yang menentang kedua perjanjian yang intinya membatasi wilayah Indonesia. Di antaranya adalah Gerakan Revolusi Rakyat (GRR) yang diketuai dr. Muwardi. Karena oposisi yang semakin meluas maka kabinet yang memerintah saat itu, KabinetAmir Sjariffudin, jatuh Januari 1948. Pada tahun yang sama, Partai Sosialis pecah menjadi dua. Sjahrir membentuk Partai Sosialis Indonesia (PSI), sedangkan Amir Sjarifudin menggabungkan diri dengan PKI, PESINDO, BTI, SOBSI, PESINDO dan Partai Buruh. Ketiganya melebur menjadi Front Demokrasi Rakyat (FDR). Partai Komunis Indonesia berdiri kembali secara ilegal tahun 1935 di Surabaya, baru akhir 1945 berani muncul terang-terangan. Tepatnya setelah Muso kembali ke Indonesia, dan tampil dengan konsepnya 'Jalan Baru bagi Republik Indonesia'.

Sama seperti tahun 1926, gerakan komunis setelah 1945 juga mempengaruhi anggota militer yang waktu itu masih bernama APRI. Diperkirakan 35% anggota APRI sudah terpengaruh komunis. Selain itu orang orang komunis juga membentuk pasukan tidak resmi.

Pemberontakan PKI Madiun 1948

Menjelang pemberontakan PKI Madiun, bisa dikatakan Front Demokrasi Rakyat (FDR), sebagai wadah yang menampung PKI dan partai sejenisnya, sudah memiliki tentara sendiri. Komandannya bernama Djoko Sujono. Setiap hari gembong-gembong komunis, termasuk Muso, mengadakan pidato di sekitar Yogyakarta, Sragen, Solo juga Madiun. Macetnya perundingan antara pihak pemerintah Indonesia dengan Belanda mengenai Renville, menjadi kesempatan bagi gerakan komunis melakukan pemberontakan. Pada 18 September 1948 pemberontakan PKI meletus di Madiun di bawah Muso. Bala tentara FDR yang semula menghadapi Belanda di front segera bergerak ke Madiun untuk memperkuat Muso.

Gerakan PKI ini didukung penuh radio setempat, Gelora Pemuda, yang menyiarkan secara langsung pidato propaganda PKI. Korban-korban terus berjatuhan di Madiun, bahkan sampai Solo. Salah satu korban adalah dr.Muwardi, ketua Gerakan Revolusi Rakyat (GRR), yang menentang Amir Sjarifudin sewaktu masih menjabat perdana menteri dan belum bergabung dalam FDR. Tanggal 19 September 1948, PKI/FDR di bawah Muso memproklamirkan berdirinya 'Soviet Republik Indonesia' di Madiun.

Madiun dipermak habis sehingga menyerupai Soviet Republik Indonesia. Walikotanya ditunjuk Abdulmutalib, seorang gembong komunis di Indonesia. Pajak penduduk ditiadakan, karena dianggap tidak mencerminkan suatu negara yang demokratis. Tetapi rakyat diwajibkan mendaftarkan beberapa jumlah emas dan permatanya kepada penguasa. Tidak seorangpun dibolehkan memiliki uang lebih dari limaratus rupiah. Saat pasukan Republik meringsek kedalam kota, pasukan PKI dan para gembongnya kalang kabut lari ke gunung-gunung.

Tinggallah kota Madiun yang bau amis, karena banyaknya mayat-mayat rakyat kecil, pejabat maupun pegawai pemerintahan yang tewas dibantai. Walaupun sudah melarikan diri sampai ke pelosok-pelosok, Muso dan Amir Sjarifudin akhirnya tertanggap oleh pasukan Republik. Muso tewas dalam baku tembak antarpasukan, sedangkan Amir Sjarifudin dihukum mati 19 Desember 1948. Tepat dengan hari agresi militer Belanda I. Pada hari yang sama empat orang gembong PKI yang sempat tertangkap, malah lari dari penjara. Mereka adalah: Abdulmadjid, Alimin, Tan Ling Djie serta DN Aidit. Tapi perhatian TNI waktu itu lebih tertuju untuk mengatasi agresi Belanda dibanding mengejar keempat orang tersebut. Yang jelas, dengan matinya Muso dan Amir Sjarifudin pemerintah waktu itu menyatakan kasus pemberontakan PKI Madiun selesai.

Pemberontakan Tahun 1965

Setelah berhasil melarikan diri, Alimin, Ngadiman, Tan Ling Djie serta DN Aidit mulai kembali menyusun taktik-taktik dan upaya untuk bangkit kembali. Salah satunya cara dengan menerbitkan koran 'Bintang Merah' tahun 1950. Koran yang pimpinan tertingginya (Sekertaris Jendral) dipegang langsung DN Aidit ini, menjadi sarana utama PKI kembali melancarkan propagandanya. Belakangan bermunculan Koran-koran lain yang menjadi 'simpatisan' PKI. Seperti Harian Rakyat, Warta Bhakti dan Bintang Timur. Koran yang non-komunis di awal 60-an setengah mati mempertahankan diri agar tidak 'dibredel' Peperda (Penguasa Perang Daerah). Yang sempat menjadi korban adalah Indonesia Raya. Para wartawan anti-komunis dalam Badan Pendukung Sukarnoisme (BPS), akhirnya juga dibubarkan berkat lobby DN Aidit ke penguasa saat itu. Bahkan Kantor Berita Antara juga secara penuh dikuasai orang-orang PKI. Akibatnya berita yang masuk dan yang disebarluaskan hanya yang menguntungkan PKI saja.

Agustus 1953, Ali Sastroamijojo memimpin kabinet koalisi dengan PNI sebagai mayoritas. Sedangkan Masyumi, Katolik dan Sosialis menjadi oposisi. Hubungan yang semakin lama semakin buruk antara Masyumi dan PNI dimanfaatkan benar oleh PKI. Partai ini mulai memperlihatkan prestasinya ketika Pemilu 1955 berhasil menghimpun pemilih sebanyak 6.174..914 orang atau 16,4% pemilih di Indonesia.

Pada peringatan HUT PKI, 23 Mei 1965, DN Aidit mengomandokan kepada massa PKI untuk meningkatkan sikap revolusioner mereka. Perayaan yang mirip 'pamer kekuatan' ini semakin semarak dengan poster slogan-slogan PKI, seperti 'Ganyang Kebudayaan Ngak-Ngik-Ngok' atau'Bentuk Angkatan V' (buruh dan tani).

Melalui BTI (Barisan Tani Indonesia), SOBSI dan Pemuda Rakyat, PKI juga mulai menggarap desa-desa dan mengeluarkan slogan 'Tujuh Setan Desa'. Mereka yang disebut setan itu adalah tuan tanah, lintah darat, tengkulak, tukang ijon, kapitalis birokrat, bandit desa serta pengirim zakat. Setelah slogan ini dipropagandakan, mulailah terjadi pembantaian dan pembunuhan terhadap mereka yang oleh penduduk desa dianggap 'setan'. Dengan maraknya aksi brutal PKI, enam partai mengeluarkan pernyataan yang sifatnya mengecam tindakan PKI. Mereka adalah PNI, NU, Parkindo, Partai Katolik, PSII dan IPKI. Sedang jajaran militer, juga tegas menolak Nasakomisasi di tubuh militer, seperti diusulkan PKI.

Memasuki September, isu-isu kudeta militer yang dikomandoi 'Dewan Jendral' semakin santer. Sebagian orang percaya hari ABRI 5 Oktober akan digunakan militer untuk melakukan kup terhadap presiden. Apalagi sejak seminggu sebelumnya, Lapangan Parkir Timur Senayan sudah dipenuh kendaraan parade dan defile militer. Bahkan banyak yang sengaja didatangkan dari Jawa Timur, Jawa Tengah dan Jawa Barat.

Dengan dalih menyelamatkan revolusi dan Pemimpin Besar Revolusi, PKI merencanakan sebuah gerakan yang mereka disebut 'Gerakan 30 September'. Menurut LetKol Untung, gerakan ini semata-mata gerakan dalam Angkatan Darat yang ditujukan kepada Dewan Jendral yang telah mencemarkan nama Angkatan Darat. Dan ia sebagai anggota Cakrabirawa berkewajiban melindungi keselamatan presiden.

Yang diserahi tugas menculik para jendral tergabung dalam pasukan 'Pasopati'. Komandannya ditunjuk Lettu Dul Arief. Pasukan disebar ke sasaran masing-masing serentak dan mulai bergerak dari Lubang Buaya pukul 03.00 WIB. Enam orang jendral dan satu orang perwira pertama menjadi korban keganasan PKI.

Surat keputusan No.1/3/1966 yang ditandatangani oleh Letjen Suharto atas nama Presiden Republik Sukarno berlaku untuk seluruh wilayah Indonesia. Surat keputusan ini diperkuat lagi dengan Tap MPRS No.XXV/MPRS/1966 yang menyatakan partai komunis sebagai partai terlarang. Tidak hanya itu, sejak itu setiap kegiatan menyebarkan atau mengembangkan faham dan ajaran Komunisme-Marxisme-Leninisme juga dilarang.

Setelah 6 Jendral Dibuang di Lubang Buaya

Peristiwa penculikan dan pembunuhan sejumlah jenderal Angkatan Darat, 30 September 1965, merupakan babak akhir kehidupan paham komunis di Indonesia yang diwadahi Partai Komunis Indonesia (PKI). Setelah itu, praktis PKI tidak bisa bergerak. Setidaknya di permukaan. Sebab, tidak saja PKI -- sebagai organisasi -- yang dibabat, sejumlah orang-orang yang terlibat, diduga terlibat, atau pun dituduh terlibat juga sebagian besar dihabiskan. Dan sebagian lainnya terpaksa mendekam dalam penjara puluhan tahun. Umumnya, mereka menjalani eksekusi atau hukuman tanpa melalui sebuah proses pengadilan.

Karena itu, kita kembali tersentak ketika Presiden Abdurrahman Wahid mengulangi permintaan maafnya terhadap perlakuan yang diterima oleh orang-orang yang diduga atau dituduh komunis pada masa lalu. "Saya minta maaf atas segala pembunuhan yang terjadi terhadap orang-orang yang dikatakan komunis itu," katanya pada acara Secangkir Kopi Bersama Gus Dur yang disiarkan langsung TVRI. Ia juga menyambut baik kalau masalah G-30-S/PKI itu dibuka kembali. Alasannya, selama ini orang menganggap bahwa PKI itu bersalah. Tetapi ada pula yang menganggap mereka tidak bersalah. "Karena itu, kita tentukan saja nanti melalui pengadilan yang mana yang benar," ujar Gus Dur.

Gus Dur agaknya tidak berlebihan. Karena memang demikianlah seharusnya: untuk mewujudkan keadilan harus melalui sebuah proses hukum. Bukan lewat klaim atau prasangka. Tetapi itu hanya satu pendapat. Beberapa kilometer dari Istana, tepatnya di Gedung DPR, ada yang tidak setuju dengan sikap minta maaf Gus Dur itu. Anggota DPR dari Fraksi Partai Golkar Slamet Effendi Yusuf misalnya, berpendapat bahwa permintaan maaf bisa diterima dalam hubungan kemanusiaan terhadap orang yang tidak ada sangkut pautnya dengan PKI tetapi mengalami siksaaan, pemenjaraan, bahkan pembunuhan. Termasuk anak-anak dan keluarga pelaku G-30-S yang selama ini kehilangan hak-hak sipilnya. Tetapi, sambungnya, pemerintah tidak perlu terburu-buru minta maaf kepada para pelaku G-30-S/PKI. Sebab, ini berkaitan dengan persoalan prinsip.

Tentangan terhadap Gus Dur dalam konteks ini makin hebat, ketika ia melontarkan persetujuannya kalau TAP MPRS No. XXV/MPRS/1966 tentang pembubaran PKI dan penetapannya sebagai partai terlarang di Indonesia. Mereka -- termasuk Ketua Umum PBBNU KH Hasyim Muzadi -- tidak sepakat dengan Gus Dur. Tetapi, kiai ini tidak perduli. "Orang protes boleh-boleh saja. Saya kan bukan Ketua NU lagi. Ya, biar saja PBNU protes ya protes saja. Saya punya pendirian, ya punya pendirian. Lalu nanti kita bicarakan di pemerintahan," kata Gus Dur saat ditanya wartawan pada sebuah kesempatan di Malang, akhir Maret lalu.

Melihat maksud Gus Dur yang menyetujui penghapusan Ketatapan MPRS itu kelihatannya masuk akal juga. "Alasannnya, ya karena terlalu banyak orang-orang yang sebenarnya tidak komunis, lalu masuk dalam daftar itu. Jadi memilihnya susah. Selain itu, alasan kedua, ya hak asasi manusia toh. Mereka tidak bisa diperlakukan sebagai orang yang tidak punya hak sama sekali," tuturnya. Sikap orang terhadap alternatif pemikiran yang dilempar Gus Dur, kebanyakan menolak, termasuk kalangan MPR/DPR, maupun sejumlah tokoh partai. Gus Dur sendiri tidak ambil pusing dengan penolakan itu.

Kesalahan terbesar yang dilakukan oleh PKI adalah penculikan dan pembunuhan jenderal-jenderal. Sebenarnya, menurut beberapa pengamat, itu tak lain terjadi karena ada perpecahan dalam Angkatan Darat sendiri. Sejarawan LIPI Asvi Warman Adam dalam sebuah tulisannya di Majalah TEMPO, mengutip Harold Crouch dalam bukunya The Army and Politics in Indonesia (1978), mengatakan bahwa menjelang tahun 1965, Staf Umum Angkatan Darat pecah menjadi dua faksi, yang kedua-duanya sama-sama anti-PKI. Tetapi mereka berbeda sikap terhadap Sukarno.

Faksi pertama, yang disebut "faksi tengah", loyal terhadap Presiden Sukarno dipimpin oleh Menpangad Letjen A. Yani. Faksi ini hanya menentang Sukarno tentang persatuan nasional, di mana PKI termasuk di dalamnya. Sementara faksi kedua, "faksi kanan", menentang kebijakan Yani yang bernafaskan Sukarnois. Jenderal Nasution dan Mayjen Soeharto termasuk dalam faksi ini. Menjelang 1965, Sukarno mencium adanya faksi-faksi itu dan mulai memecah belah kedua kubu tersebut.

Sebenarnya, lanjut Asvi, Sukarno dan Soeharto sama-sama mengetahui gerakan tersebut, termasuk adanya isyu Dewan Jenderal. Namun, Sukarno adalah orang yang paling dicelakakan oleh peristiwa tersebut. "Ia dikesankan terlibat karena tidak mau mengutuk PKI. Sedangkan Soeharto adalah orang yang sangat diuntungkan oleh gerakan tersebut. Para saingannya sesama jenderal tersingkir dan ia melenggang ke kursi kepresidenan," tulis Asvi.

Apa yang dikatakan Asvi agaknya tidak terlalu meleset. Memang, Sukarno tampak ogah-ogahan untuk membubarkan PKI pascaperistiwa G-30-S itu. Presiden pertama ini berusaha untuk mempertahankan PKI sebagai bagian dari konsep Nasakom. Tetapi, dalam sebuah dokumen pemeriksaan Sukarno yang dilakukan oleh Doermawel Achmat, perwira tinggi militer yang tergabung dalam Tim Pemeriksa Pusat (Teperpu), Sukarno menyatakan bahwa ia mengutuk G-30-S dan yang terlibat harus diadili.

Sebaliknya, ia menuding seorang perwira bernama Mayjen S yang telah diberi sinyal oleh pimpinan PKI tentang gerakan itu, tetapi tidak memberitahukan kepada dirinya, karena Mayjen S tersebut sudah dijamin keselamatannya. Dalam laporan itu, Sukarno juga menyebut bahwa Gerakan Satu Oktober (Gestok) yang dilakukan Angkatan Darat untuk menumpas pelaku G-30-S, sekaligus PKI, sebagai tindakan pengkhianatan terhadap dirinya. Tetapi, Doermawel yang disebut-sebut sebagai pemeriksa dari Teperpu membantah adanya pemeriksaan itu. Mana yang benar?

Yang jelas, kemudian Sukarno tidak bisa berbuat banyak. PKI dibubarkan. Supersemar menjadi senjata bagi Soeharto untuk memulihkan keamanan dan membubarkan PKI. Kemudian, 5 Juli 1966, keluar Ketapan MPRS No. XXV/MPRS/1966 tentang pembubaran Partai Komunis Indonesia dan menyatakan bahwa PKI sebagai organisasi terlarang, termasuk larangan setiap kegiatan untuk menyebarkan atau mengembangkan faham atau ajaran komunisme/Marxisme-Leninisme.

Ketetapan itulah yang kini mengundang kontroversi. Bagaimanakah endingnya? Kita lihat saja nanti.

Mereka yang Terbuang dan Belum Pulang

TEMPO Interaktif, Jakarta: "Sekarang saya hanya ingin hak politik dan sipil sebagai warga negara Indonesia dipulihkan. Saya hanya ingin hidup tanpa rasa takut dikejar, dibunuh, atau dipenjara," ucap Fransisca Fanggidaej -- salah seorang diantara sekian warga Indonesia yang tidak bisa pulang akibat gejolak politik tahun 1965, paska peristiwa G-30-S/PKI -- dalam pertemuan dengan Menteri Hukum dan Perundang-undangan Yusril Ihza Mehendra di KBRI Den Haag, pertengahan Januari 2000.

Fransisca yang kini berumur 75 tahun itu, adalah wartawan sebuah media cetak yang ditugaskan oleh Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) untuk mengikuti konferensi Internastional Organization of Journalist di Cile. Ia meninggalkan Indonesia 18 September 1965, beberapa hari sebelum peristiwa penculikan dan pembunuhan sejumlah jenderal TNI AD. Tak lama setelah peristiwa itu, paspornya dicabut, dan ia dinyatakan tidak lagi menjadi WNI.

Yang tak kalah menyedihkan, selain dirinya tidak bisa pulang, suaminya Supriyo, anggota Dewan Pimpinan Redaksi Kantor Berita Antara, juga ditangkap awal Oktober 1965. Hal sama juga dialami anaknya yang berusia 15 tahun. Sekarang, Supriyo tinggal di Jakarta, dalam keadaan menyedihkan.

Orang-Orang yang Tidak Bisa Pulang Karena Alasan Politik
Tempat MukimJumlah
Belanda
Jerman
Perancis
Negara lain
400 orang
500 orang
100 orang
tidak diketahui
Sumber: Data Ditjen Imigrasi tahun 1995
Itulah salah satu di antara sekian unek-unek orang Indonesia yang mengalami nasib tidak bisa pulang ke tanah air karena dituduh mendukung atau bahkan berpaham komunis itu sendiri. Pertemuan yang sangat cair dan terbuka itu, baru pertama kali dilakukan sejak 32 tahun. Suasananya penuh kekeluargaan, dan terbuka. Mereka bebas untuk menyampaikan apa saja, unek-unek, harapan, saran, bahkan kritik. Karena cairnya suasana, tak heran kalau pertemuan yang sedianya dijadwalkan dua jam, molor menjadi empat jam.

Pertemuan itu adalah bagian dari upaya pemerintah untuk mempermudah orang-orang Indonesia di luar negeri yang terhambat pulang -- dan terpaksa menjadi warga negara asing atau bahkan tanpa warga negara sama sekali -- karena alasan politik. "Berbagai peraturan yang selama ini menghalangi Bapak-bapak untuk pulang atau kembali menjadi WNI, akan segera dicabut," Yusril menjanjikan.

Sebelumnya, Yusril juga pernah menjanjikan bahwa bagi mereka yang terhambat pulang atau lepas kewarganegaraannya akibat alasan politik, jika ingin kembali menjadi WNI, tidak perlu lagi menempuh prosedur seperti proses naturalisasi warga asing lainnya. Apalagi, kata mantan calon Presiden dari fraksi Bulan Bintang itu, sebagian WNI yang terhalang pulang itu berusia lanjut, juga mereka belum tentu bersalah.

Memang, peristiwa politik tahun 1965, membuat banyak orang trauma, bahkan terbuang. Ada ribuan orang Indonesia yang berada di luar negeri, karena tidak bisa pulang. Dan lucunya, banyak di antara mereka yang tidak tahu apa-apa mengenai kesalahan yang ditimpakan kepada diri mereka. Mereka ada yang sedang tugas belajar, menjadi mahasiswa, bekerja, duta besar, maupun keperluan-keperluan yang tidak ada sangkut-pautnya dengan kegiatan politik.

Menurut Yusril, mengutip data Ditjen Imigrasi tahun 1995, ada ribuan WNI yang terhalang pulang ke tanah air. Sebagian besar mereka berada di Belanda (sekitar 400 orang), Jerman (500 orang), Perancis (100 orang), dan beberapa negara lainnya. Tetapi sampai kini, tambah Yusril, masih ada sekitar 600 orang WNI yang terhalang pulang ke tanah air. Sebagian besar mereka, kata Yusril, berwarga negara Eropa. "Cuma seorang yang berstatus tanpa kewarganegaraan," ujarnya. Ia juga memperkirakan masih ada orang-orang Indonesia yang masih memegang paspor Indonesia