Minggu, 29 Juli 2007

Setelah 6 Jendral Dibuang di Lubang Buaya

Peristiwa penculikan dan pembunuhan sejumlah jenderal Angkatan Darat, 30 September 1965, merupakan babak akhir kehidupan paham komunis di Indonesia yang diwadahi Partai Komunis Indonesia (PKI). Setelah itu, praktis PKI tidak bisa bergerak. Setidaknya di permukaan. Sebab, tidak saja PKI -- sebagai organisasi -- yang dibabat, sejumlah orang-orang yang terlibat, diduga terlibat, atau pun dituduh terlibat juga sebagian besar dihabiskan. Dan sebagian lainnya terpaksa mendekam dalam penjara puluhan tahun. Umumnya, mereka menjalani eksekusi atau hukuman tanpa melalui sebuah proses pengadilan.

Karena itu, kita kembali tersentak ketika Presiden Abdurrahman Wahid mengulangi permintaan maafnya terhadap perlakuan yang diterima oleh orang-orang yang diduga atau dituduh komunis pada masa lalu. "Saya minta maaf atas segala pembunuhan yang terjadi terhadap orang-orang yang dikatakan komunis itu," katanya pada acara Secangkir Kopi Bersama Gus Dur yang disiarkan langsung TVRI. Ia juga menyambut baik kalau masalah G-30-S/PKI itu dibuka kembali. Alasannya, selama ini orang menganggap bahwa PKI itu bersalah. Tetapi ada pula yang menganggap mereka tidak bersalah. "Karena itu, kita tentukan saja nanti melalui pengadilan yang mana yang benar," ujar Gus Dur.

Gus Dur agaknya tidak berlebihan. Karena memang demikianlah seharusnya: untuk mewujudkan keadilan harus melalui sebuah proses hukum. Bukan lewat klaim atau prasangka. Tetapi itu hanya satu pendapat. Beberapa kilometer dari Istana, tepatnya di Gedung DPR, ada yang tidak setuju dengan sikap minta maaf Gus Dur itu. Anggota DPR dari Fraksi Partai Golkar Slamet Effendi Yusuf misalnya, berpendapat bahwa permintaan maaf bisa diterima dalam hubungan kemanusiaan terhadap orang yang tidak ada sangkut pautnya dengan PKI tetapi mengalami siksaaan, pemenjaraan, bahkan pembunuhan. Termasuk anak-anak dan keluarga pelaku G-30-S yang selama ini kehilangan hak-hak sipilnya. Tetapi, sambungnya, pemerintah tidak perlu terburu-buru minta maaf kepada para pelaku G-30-S/PKI. Sebab, ini berkaitan dengan persoalan prinsip.

Tentangan terhadap Gus Dur dalam konteks ini makin hebat, ketika ia melontarkan persetujuannya kalau TAP MPRS No. XXV/MPRS/1966 tentang pembubaran PKI dan penetapannya sebagai partai terlarang di Indonesia. Mereka -- termasuk Ketua Umum PBBNU KH Hasyim Muzadi -- tidak sepakat dengan Gus Dur. Tetapi, kiai ini tidak perduli. "Orang protes boleh-boleh saja. Saya kan bukan Ketua NU lagi. Ya, biar saja PBNU protes ya protes saja. Saya punya pendirian, ya punya pendirian. Lalu nanti kita bicarakan di pemerintahan," kata Gus Dur saat ditanya wartawan pada sebuah kesempatan di Malang, akhir Maret lalu.

Melihat maksud Gus Dur yang menyetujui penghapusan Ketatapan MPRS itu kelihatannya masuk akal juga. "Alasannnya, ya karena terlalu banyak orang-orang yang sebenarnya tidak komunis, lalu masuk dalam daftar itu. Jadi memilihnya susah. Selain itu, alasan kedua, ya hak asasi manusia toh. Mereka tidak bisa diperlakukan sebagai orang yang tidak punya hak sama sekali," tuturnya. Sikap orang terhadap alternatif pemikiran yang dilempar Gus Dur, kebanyakan menolak, termasuk kalangan MPR/DPR, maupun sejumlah tokoh partai. Gus Dur sendiri tidak ambil pusing dengan penolakan itu.

Kesalahan terbesar yang dilakukan oleh PKI adalah penculikan dan pembunuhan jenderal-jenderal. Sebenarnya, menurut beberapa pengamat, itu tak lain terjadi karena ada perpecahan dalam Angkatan Darat sendiri. Sejarawan LIPI Asvi Warman Adam dalam sebuah tulisannya di Majalah TEMPO, mengutip Harold Crouch dalam bukunya The Army and Politics in Indonesia (1978), mengatakan bahwa menjelang tahun 1965, Staf Umum Angkatan Darat pecah menjadi dua faksi, yang kedua-duanya sama-sama anti-PKI. Tetapi mereka berbeda sikap terhadap Sukarno.

Faksi pertama, yang disebut "faksi tengah", loyal terhadap Presiden Sukarno dipimpin oleh Menpangad Letjen A. Yani. Faksi ini hanya menentang Sukarno tentang persatuan nasional, di mana PKI termasuk di dalamnya. Sementara faksi kedua, "faksi kanan", menentang kebijakan Yani yang bernafaskan Sukarnois. Jenderal Nasution dan Mayjen Soeharto termasuk dalam faksi ini. Menjelang 1965, Sukarno mencium adanya faksi-faksi itu dan mulai memecah belah kedua kubu tersebut.

Sebenarnya, lanjut Asvi, Sukarno dan Soeharto sama-sama mengetahui gerakan tersebut, termasuk adanya isyu Dewan Jenderal. Namun, Sukarno adalah orang yang paling dicelakakan oleh peristiwa tersebut. "Ia dikesankan terlibat karena tidak mau mengutuk PKI. Sedangkan Soeharto adalah orang yang sangat diuntungkan oleh gerakan tersebut. Para saingannya sesama jenderal tersingkir dan ia melenggang ke kursi kepresidenan," tulis Asvi.

Apa yang dikatakan Asvi agaknya tidak terlalu meleset. Memang, Sukarno tampak ogah-ogahan untuk membubarkan PKI pascaperistiwa G-30-S itu. Presiden pertama ini berusaha untuk mempertahankan PKI sebagai bagian dari konsep Nasakom. Tetapi, dalam sebuah dokumen pemeriksaan Sukarno yang dilakukan oleh Doermawel Achmat, perwira tinggi militer yang tergabung dalam Tim Pemeriksa Pusat (Teperpu), Sukarno menyatakan bahwa ia mengutuk G-30-S dan yang terlibat harus diadili.

Sebaliknya, ia menuding seorang perwira bernama Mayjen S yang telah diberi sinyal oleh pimpinan PKI tentang gerakan itu, tetapi tidak memberitahukan kepada dirinya, karena Mayjen S tersebut sudah dijamin keselamatannya. Dalam laporan itu, Sukarno juga menyebut bahwa Gerakan Satu Oktober (Gestok) yang dilakukan Angkatan Darat untuk menumpas pelaku G-30-S, sekaligus PKI, sebagai tindakan pengkhianatan terhadap dirinya. Tetapi, Doermawel yang disebut-sebut sebagai pemeriksa dari Teperpu membantah adanya pemeriksaan itu. Mana yang benar?

Yang jelas, kemudian Sukarno tidak bisa berbuat banyak. PKI dibubarkan. Supersemar menjadi senjata bagi Soeharto untuk memulihkan keamanan dan membubarkan PKI. Kemudian, 5 Juli 1966, keluar Ketapan MPRS No. XXV/MPRS/1966 tentang pembubaran Partai Komunis Indonesia dan menyatakan bahwa PKI sebagai organisasi terlarang, termasuk larangan setiap kegiatan untuk menyebarkan atau mengembangkan faham atau ajaran komunisme/Marxisme-Leninisme.

Ketetapan itulah yang kini mengundang kontroversi. Bagaimanakah endingnya? Kita lihat saja nanti.

Tidak ada komentar: