Minggu, 29 Juli 2007

Mereka yang Terbuang dan Belum Pulang

TEMPO Interaktif, Jakarta: "Sekarang saya hanya ingin hak politik dan sipil sebagai warga negara Indonesia dipulihkan. Saya hanya ingin hidup tanpa rasa takut dikejar, dibunuh, atau dipenjara," ucap Fransisca Fanggidaej -- salah seorang diantara sekian warga Indonesia yang tidak bisa pulang akibat gejolak politik tahun 1965, paska peristiwa G-30-S/PKI -- dalam pertemuan dengan Menteri Hukum dan Perundang-undangan Yusril Ihza Mehendra di KBRI Den Haag, pertengahan Januari 2000.

Fransisca yang kini berumur 75 tahun itu, adalah wartawan sebuah media cetak yang ditugaskan oleh Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) untuk mengikuti konferensi Internastional Organization of Journalist di Cile. Ia meninggalkan Indonesia 18 September 1965, beberapa hari sebelum peristiwa penculikan dan pembunuhan sejumlah jenderal TNI AD. Tak lama setelah peristiwa itu, paspornya dicabut, dan ia dinyatakan tidak lagi menjadi WNI.

Yang tak kalah menyedihkan, selain dirinya tidak bisa pulang, suaminya Supriyo, anggota Dewan Pimpinan Redaksi Kantor Berita Antara, juga ditangkap awal Oktober 1965. Hal sama juga dialami anaknya yang berusia 15 tahun. Sekarang, Supriyo tinggal di Jakarta, dalam keadaan menyedihkan.

Orang-Orang yang Tidak Bisa Pulang Karena Alasan Politik
Tempat MukimJumlah
Belanda
Jerman
Perancis
Negara lain
400 orang
500 orang
100 orang
tidak diketahui
Sumber: Data Ditjen Imigrasi tahun 1995
Itulah salah satu di antara sekian unek-unek orang Indonesia yang mengalami nasib tidak bisa pulang ke tanah air karena dituduh mendukung atau bahkan berpaham komunis itu sendiri. Pertemuan yang sangat cair dan terbuka itu, baru pertama kali dilakukan sejak 32 tahun. Suasananya penuh kekeluargaan, dan terbuka. Mereka bebas untuk menyampaikan apa saja, unek-unek, harapan, saran, bahkan kritik. Karena cairnya suasana, tak heran kalau pertemuan yang sedianya dijadwalkan dua jam, molor menjadi empat jam.

Pertemuan itu adalah bagian dari upaya pemerintah untuk mempermudah orang-orang Indonesia di luar negeri yang terhambat pulang -- dan terpaksa menjadi warga negara asing atau bahkan tanpa warga negara sama sekali -- karena alasan politik. "Berbagai peraturan yang selama ini menghalangi Bapak-bapak untuk pulang atau kembali menjadi WNI, akan segera dicabut," Yusril menjanjikan.

Sebelumnya, Yusril juga pernah menjanjikan bahwa bagi mereka yang terhambat pulang atau lepas kewarganegaraannya akibat alasan politik, jika ingin kembali menjadi WNI, tidak perlu lagi menempuh prosedur seperti proses naturalisasi warga asing lainnya. Apalagi, kata mantan calon Presiden dari fraksi Bulan Bintang itu, sebagian WNI yang terhalang pulang itu berusia lanjut, juga mereka belum tentu bersalah.

Memang, peristiwa politik tahun 1965, membuat banyak orang trauma, bahkan terbuang. Ada ribuan orang Indonesia yang berada di luar negeri, karena tidak bisa pulang. Dan lucunya, banyak di antara mereka yang tidak tahu apa-apa mengenai kesalahan yang ditimpakan kepada diri mereka. Mereka ada yang sedang tugas belajar, menjadi mahasiswa, bekerja, duta besar, maupun keperluan-keperluan yang tidak ada sangkut-pautnya dengan kegiatan politik.

Menurut Yusril, mengutip data Ditjen Imigrasi tahun 1995, ada ribuan WNI yang terhalang pulang ke tanah air. Sebagian besar mereka berada di Belanda (sekitar 400 orang), Jerman (500 orang), Perancis (100 orang), dan beberapa negara lainnya. Tetapi sampai kini, tambah Yusril, masih ada sekitar 600 orang WNI yang terhalang pulang ke tanah air. Sebagian besar mereka, kata Yusril, berwarga negara Eropa. "Cuma seorang yang berstatus tanpa kewarganegaraan," ujarnya. Ia juga memperkirakan masih ada orang-orang Indonesia yang masih memegang paspor Indonesia

Tidak ada komentar: