Organisasi organisasi pemuda banyak bermunculan pascaproklamasi 17 Agustus 1945. Yang pertama sekali dibentuk bernama Angkatan Pemuda Indonesia (API). Organisasi ini dipimpin oleh seorang pemuda bernama Wikana, seorang sosialis. Ia memiliki seorang assisten bernama DN Aidit.
Sebagai sebuah organisasi yang dipimpin seorang sosialis komunis, tak heran jika di tubuh API sering disuntikkan propaganda-propaganda komunisme. Pada 9-11 November 1945, API mengadakan kongres pertama mereka di Yogyakarta. Kongres ini dihadiri hampir seluruh organisasi kepemudaan dari seluruh Indonesia. Di sana, baik Wikana maupun Aidit mengajak seluruh organisasi pemuda untuk bergabung menjadi satu organisasi kepemudaan baru. Nantinya organisasi ini dikenal dengan nama Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo). Tercatat enam organisasi setuju melebur menjadi Pesindo. Mereka adalah API sendiri, Pemuda Republik Indonesia (PRI), Angkutan Muda Republik Indonesia (AMRI), Gerakan Pemuda Republik Indonesia (GERPRI), Angkatan Muda Kereta Api (AMKA) dan Angkatan Muda Pos, Tilpun dan Telegrap (AMPTT). Satu organisasi yang menolak bergabung adalah Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII).
Lima bulan setelah pembentukan PESINDO di kongres Yogyakarta, tiga organisasi pembentuknya menyatakan keluar. Mereka adalah AMPTT, AMKA dan GERPRI. Pada bulan-bulan pertama sesudah proklamasi belum ada partai politik. Kabinet pertama yang dibentuk waktu itu berbentuk presidentil dengan Sukarno sebagai presiden dan Hatta sebagai wakil presiden, sekaligus perdana menteri dan wakil perdana menteri. Sutan Sjahrir yang belakangan dikenal sebagai perdana menteri (pertama), sebenarnya mulai aktif di kabinet II. Di situ Sjahrir tak hanya menjabat perdana menteri, tetapi juga menteri luar negeri dan dalam negeri terhitung dari 14 November 1945 sampai 12 Maret 1946.
Pada hari hari menjelang proklamasi, muncul seorang tokoh bernama Ilyas Husein, yang mengaku gembong komunis bekas anak didik Sneevliet, dan baru datang dari luar negeri. Siapa sebenarnya Ilyas Husein? Dialah Tan Malaka yang memakai nama samaran. Setibanya di Indonesia, Tan mengadakan kontak dengan organsisasi-organisasi pemuda dan tak disangka pengaruh orang ini kembali membesar seperti tahun 20-an. Di bulan Oktober 1945, Sutan Sjahrir pernah mengajak Tan Malaka untuk bekerja sama dengan pihak pemerintah dengan menjadi pimpinan Partai Sosialis. Tan menolak. "Saya tak ingin seperti teman Partai Sosialis yang kebanyakan mau berkompromi dengan kapitalis-imperealis,"katanya. Tan sendiri menamakan kelompok Sjahrir, Sukarno, Hatta dan Amir Sjarifudin dengan nama kaum 'Borjuis kecil.' Karena mereka selalu mengunakan cara diplomasi dan kompromi. Berbeda dengan kelompoknya yang menjalankan perjuangan bersenjata melalui 'aksi massa' dan selalu berprinsip 'Konsekwen Terhadap Perjuangan'. Tan dan kawan-kawan menamakan kelompok mereka kaum 'Murba'.
Lain ceritanya dengan Muso. Setelah meninggalkan Indonesia tahun 1926, ia kembali ke tanah air tahun 1935. Pada tahun itu ia mendirikan PKI ilegal di Surabaya. Namun, ketika tahun 1943 tentara Jepang menguber-uber pentolan PKI, Muso pun kembali melarikan diri ke Rusia.
Perkembangan partai komunis setelah 1945 erat kaitannya dengan perjanjian Linggarjati dan Renville. Banyak kalangan yang menentang kedua perjanjian yang intinya membatasi wilayah Indonesia. Di antaranya adalah Gerakan Revolusi Rakyat (GRR) yang diketuai dr. Muwardi. Karena oposisi yang semakin meluas maka kabinet yang memerintah saat itu, KabinetAmir Sjariffudin, jatuh Januari 1948. Pada tahun yang sama, Partai Sosialis pecah menjadi dua. Sjahrir membentuk Partai Sosialis Indonesia (PSI), sedangkan Amir Sjarifudin menggabungkan diri dengan PKI, PESINDO, BTI, SOBSI, PESINDO dan Partai Buruh. Ketiganya melebur menjadi Front Demokrasi Rakyat (FDR). Partai Komunis Indonesia berdiri kembali secara ilegal tahun 1935 di Surabaya, baru akhir 1945 berani muncul terang-terangan. Tepatnya setelah Muso kembali ke Indonesia, dan tampil dengan konsepnya 'Jalan Baru bagi Republik Indonesia'.
Sama seperti tahun 1926, gerakan komunis setelah 1945 juga mempengaruhi anggota militer yang waktu itu masih bernama APRI. Diperkirakan 35% anggota APRI sudah terpengaruh komunis. Selain itu orang orang komunis juga membentuk pasukan tidak resmi.
Pemberontakan PKI Madiun 1948
Menjelang pemberontakan PKI Madiun, bisa dikatakan Front Demokrasi Rakyat (FDR), sebagai wadah yang menampung PKI dan partai sejenisnya, sudah memiliki tentara sendiri. Komandannya bernama Djoko Sujono. Setiap hari gembong-gembong komunis, termasuk Muso, mengadakan pidato di sekitar Yogyakarta, Sragen, Solo juga Madiun. Macetnya perundingan antara pihak pemerintah Indonesia dengan Belanda mengenai Renville, menjadi kesempatan bagi gerakan komunis melakukan pemberontakan. Pada 18 September 1948 pemberontakan PKI meletus di Madiun di bawah Muso. Bala tentara FDR yang semula menghadapi Belanda di front segera bergerak ke Madiun untuk memperkuat Muso.
Gerakan PKI ini didukung penuh radio setempat, Gelora Pemuda, yang menyiarkan secara langsung pidato propaganda PKI. Korban-korban terus berjatuhan di Madiun, bahkan sampai Solo. Salah satu korban adalah dr.Muwardi, ketua Gerakan Revolusi Rakyat (GRR), yang menentang Amir Sjarifudin sewaktu masih menjabat perdana menteri dan belum bergabung dalam FDR. Tanggal 19 September 1948, PKI/FDR di bawah Muso memproklamirkan berdirinya 'Soviet Republik Indonesia' di Madiun.
Madiun dipermak habis sehingga menyerupai Soviet Republik Indonesia. Walikotanya ditunjuk Abdulmutalib, seorang gembong komunis di Indonesia. Pajak penduduk ditiadakan, karena dianggap tidak mencerminkan suatu negara yang demokratis. Tetapi rakyat diwajibkan mendaftarkan beberapa jumlah emas dan permatanya kepada penguasa. Tidak seorangpun dibolehkan memiliki uang lebih dari limaratus rupiah. Saat pasukan Republik meringsek kedalam kota, pasukan PKI dan para gembongnya kalang kabut lari ke gunung-gunung.
Tinggallah kota Madiun yang bau amis, karena banyaknya mayat-mayat rakyat kecil, pejabat maupun pegawai pemerintahan yang tewas dibantai. Walaupun sudah melarikan diri sampai ke pelosok-pelosok, Muso dan Amir Sjarifudin akhirnya tertanggap oleh pasukan Republik. Muso tewas dalam baku tembak antarpasukan, sedangkan Amir Sjarifudin dihukum mati 19 Desember 1948. Tepat dengan hari agresi militer Belanda I. Pada hari yang sama empat orang gembong PKI yang sempat tertangkap, malah lari dari penjara. Mereka adalah: Abdulmadjid, Alimin, Tan Ling Djie serta DN Aidit. Tapi perhatian TNI waktu itu lebih tertuju untuk mengatasi agresi Belanda dibanding mengejar keempat orang tersebut. Yang jelas, dengan matinya Muso dan Amir Sjarifudin pemerintah waktu itu menyatakan kasus pemberontakan PKI Madiun selesai.
Pemberontakan Tahun 1965
Setelah berhasil melarikan diri, Alimin, Ngadiman, Tan Ling Djie serta DN Aidit mulai kembali menyusun taktik-taktik dan upaya untuk bangkit kembali. Salah satunya cara dengan menerbitkan koran 'Bintang Merah' tahun 1950. Koran yang pimpinan tertingginya (Sekertaris Jendral) dipegang langsung DN Aidit ini, menjadi sarana utama PKI kembali melancarkan propagandanya. Belakangan bermunculan Koran-koran lain yang menjadi 'simpatisan' PKI. Seperti Harian Rakyat, Warta Bhakti dan Bintang Timur. Koran yang non-komunis di awal 60-an setengah mati mempertahankan diri agar tidak 'dibredel' Peperda (Penguasa Perang Daerah). Yang sempat menjadi korban adalah Indonesia Raya. Para wartawan anti-komunis dalam Badan Pendukung Sukarnoisme (BPS), akhirnya juga dibubarkan berkat lobby DN Aidit ke penguasa saat itu. Bahkan Kantor Berita Antara juga secara penuh dikuasai orang-orang PKI. Akibatnya berita yang masuk dan yang disebarluaskan hanya yang menguntungkan PKI saja.
Agustus 1953, Ali Sastroamijojo memimpin kabinet koalisi dengan PNI sebagai mayoritas. Sedangkan Masyumi, Katolik dan Sosialis menjadi oposisi. Hubungan yang semakin lama semakin buruk antara Masyumi dan PNI dimanfaatkan benar oleh PKI. Partai ini mulai memperlihatkan prestasinya ketika Pemilu 1955 berhasil menghimpun pemilih sebanyak 6.174..914 orang atau 16,4% pemilih di Indonesia.
Pada peringatan HUT PKI, 23 Mei 1965, DN Aidit mengomandokan kepada massa PKI untuk meningkatkan sikap revolusioner mereka. Perayaan yang mirip 'pamer kekuatan' ini semakin semarak dengan poster slogan-slogan PKI, seperti 'Ganyang Kebudayaan Ngak-Ngik-Ngok' atau'Bentuk Angkatan V' (buruh dan tani).
Melalui BTI (Barisan Tani Indonesia), SOBSI dan Pemuda Rakyat, PKI juga mulai menggarap desa-desa dan mengeluarkan slogan 'Tujuh Setan Desa'. Mereka yang disebut setan itu adalah tuan tanah, lintah darat, tengkulak, tukang ijon, kapitalis birokrat, bandit desa serta pengirim zakat. Setelah slogan ini dipropagandakan, mulailah terjadi pembantaian dan pembunuhan terhadap mereka yang oleh penduduk desa dianggap 'setan'. Dengan maraknya aksi brutal PKI, enam partai mengeluarkan pernyataan yang sifatnya mengecam tindakan PKI. Mereka adalah PNI, NU, Parkindo, Partai Katolik, PSII dan IPKI. Sedang jajaran militer, juga tegas menolak Nasakomisasi di tubuh militer, seperti diusulkan PKI.
Memasuki September, isu-isu kudeta militer yang dikomandoi 'Dewan Jendral' semakin santer. Sebagian orang percaya hari ABRI 5 Oktober akan digunakan militer untuk melakukan kup terhadap presiden. Apalagi sejak seminggu sebelumnya, Lapangan Parkir Timur Senayan sudah dipenuh kendaraan parade dan defile militer. Bahkan banyak yang sengaja didatangkan dari Jawa Timur, Jawa Tengah dan Jawa Barat.
Dengan dalih menyelamatkan revolusi dan Pemimpin Besar Revolusi, PKI merencanakan sebuah gerakan yang mereka disebut 'Gerakan 30 September'. Menurut LetKol Untung, gerakan ini semata-mata gerakan dalam Angkatan Darat yang ditujukan kepada Dewan Jendral yang telah mencemarkan nama Angkatan Darat. Dan ia sebagai anggota Cakrabirawa berkewajiban melindungi keselamatan presiden.
Yang diserahi tugas menculik para jendral tergabung dalam pasukan 'Pasopati'. Komandannya ditunjuk Lettu Dul Arief. Pasukan disebar ke sasaran masing-masing serentak dan mulai bergerak dari Lubang Buaya pukul 03.00 WIB. Enam orang jendral dan satu orang perwira pertama menjadi korban keganasan PKI.
Surat keputusan No.1/3/1966 yang ditandatangani oleh Letjen Suharto atas nama Presiden Republik Sukarno berlaku untuk seluruh wilayah Indonesia. Surat keputusan ini diperkuat lagi dengan Tap MPRS No.XXV/MPRS/1966 yang menyatakan partai komunis sebagai partai terlarang. Tidak hanya itu, sejak itu setiap kegiatan menyebarkan atau mengembangkan faham dan ajaran Komunisme-Marxisme-Leninisme juga dilarang.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar